Menagih tugas parpol meningkatkan kualitas anggota DPR
Merdeka.com - Tak hanya anggota DPR yang berlatar
belakang artis yang tengah menjadi sorotan. Rendahnya kualitas para anggota
dewan berimbas pada produk legislasi yang dihasilkan. Ketua DPR Ade Komarudin
pun mewacanakan Sekolah Parlemen untuk para anggota legislasi dari DPR hingga
DPRD kabupaten/kota. Ide ini dinilai ideal namun tugas meningkatkan kualitas
kader seharusnya menjadi tanggung jawab partai politik.
Menurut Peneliti Forum Masyakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus,
gagasan membentuk sekolah parlemen adalah sebuah ide yang tergesa-gesa. Selain
belum tersedianya infrastuktur pendukung, sekolah parlemen bisa saja menjadi
proyek baru menggantikan proyek gagal seperti perpustakaan DPR.
"Ini ide yang sangat ideal karena ada kebutuhan yang mendesak karena kerja
DPR itu gak sekedar ecek-ecek. Di sana kan UU dibuat, kalau orang yang
membuatnya tidak berkualitas maka seperti ini hasilnya, banyak yang digugat ke
MK," kata Lucius ketika berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Senin (28/8)
lalu.
Namun, sesuai UU Partai Politik, kata Lucius, peningkatan kualitas anggota
legislatif sebenarnya menjadi tugas partai politik. Di sana tercantum tugas
parpol untuk pengkaderan dan pendidikan politik. Sayangnya, kata dia, tugas itu
belum dilakukan secara benar oleh partai politik sebab dalam beberapa kasus,
parpol tampil sebagai pembela anggotanya yang dinilai bermasalah oleh
masyarakat.
Pendapat ini diamini oleh anggota Komisi II DPR H Tamuri. Tugas anggota DPR
sekarang ini adalah menyelesaikan seluruh program yang ada, bukan untuk
bersekolah. "Di sini orang datang kerja. Tugas peningkatan kualitas itu
ranah parpol, bukan parlemen," ujarnya.
Kualitas DPR periode 2014-2019 dalam catatan Formappi paling buruk. Hal itu
terlihat dari berbagi aspek seperti utang legislasi yang menumpuk, sitem kerja
yang kacau, dan memudarnya komitmen.
Utang legislasi
Dari tiga kali masa sidang untuk prolegnas prioritas 2015-2019, DPR baru
menghasilkan 10 undang-undang. Tahun 2015, dari target 40 RUU proritas hanya
tiga yang berhasil disahkan oleh DPR.
Tiga undang-undang yang sudah dihasilkan DPR masing-masing adalah Undang-undang
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, dan Undang-undang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, untuk prolegnas proritas 2016, dari 50 RUU, hanya 7 UU yang
dihasilkan yakni 5 undang-undang dan dua undang-undang kumulatif terbuka.
Undang-undang itu adalah Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera),
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak
Garam, Undang-Undang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Pencegahan dan
Penanggulangan Krisis Keuangan, serta Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax
Amnesty) yang baru disahkan pada 28 Juni 2016 lalu.
Adapun undang-undang kumulatif terbuka terdiri atas RUU pengesahan kerja sama
antara Kementerian Pertahanan RI dan Kementerian Pertahanan Jerman mengenai
kerja sama di bidang pertahanan dan RUU tentang pengesahan persetujuan
pemerintah RI dan pemerintah Cina tentang aktivitas di bidang pertahanan.
"Ada prioritas tapi hasilnya jauh panggang dari api," kritik Lucius.
Sistem kerja yang kacau
Selain mandul di legislasi, Lucius menilai kinerja buruk DPR juga disebabkan
oleh kurangnya perencanaan. DPR kerap terlarut pada hal yang bukan ranahnya dan
meninggalkan tugas dan fungsi pokok yang menjadi prioritas.
Dia mencontohkan, pada fungsi anggaran, DPR kerap lalai bahkan ikut bermain di
dalamnya. Sementara di fungsi pengawasan, DPR mengabaikan temuan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) yang seharusnya dibuat Pansus DPR. Mereka, kata dia malah
angkat yang bukan ranah mereka, seperti dalam kasus RS Sumber Waras.
"Tidak fokus. Isu apa yang muncul, ditanggapi berlarut sehingga tidak
jelas apa yang menjadi prioritas," tukas dia.
Selain tiga tupoksi di atas, sistem pendukung seperti staf dan tenaga ahli DPR
juga tidak diperhatikan secara serius. Perekrutan kerap diambil secara
asal-asalan dan tidak mendukung kinerja anggota DPR. Seharusnya, menurut dia,
gagasan pembenahan kinerja juga dialamatkan kepada sistem pendukung ini.
Memudarnya komitmen
Menurut Lucius, kinerja buruk bukan disebabkan oleh latar pendidikan yang
rendah dari anggota dewan. Tingkat absensi yang tinggi dalam masa sidang
paripurna atau sidang di komisi-komisi menunjuk pada pudarnya komitmen wakil
rakyat itu dari hari ke hari.
Selama periode masa sidang paripurna III DPR, 11 Januari-18 Maret 2016
misalnya, tingkat kehadiran atau absensi anggota DPR hanya 53 persen. Rata-rata
hanya 299 dari 559 anggota saja anggota dewan yang menghadiri sidang paripurna.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretariat DPR, Fraksi PDIP ada di puncak
absensi ketidakhadiran (42 persen) atau rata-rata hanya 46 dari 109 anggota
yang hadir selama masa sidang paripurna III.
Anggota DPR dari Fraksi Nasional Demokrat tercatat paling rajin mengikuti
sidang paripurna. Tercatat, tingkat kehadiran anggota DPR dari Fraksi Nasdem
mencapai 63 persen atau 23 dari 36 anggota hadir. Disusul posisi selanjutnya
Gerindra dan PKS.
Menurut Peneliti Forum Masyakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, gagasan membentuk sekolah parlemen adalah sebuah ide yang tergesa-gesa. Selain belum tersedianya infrastuktur pendukung, sekolah parlemen bisa saja menjadi proyek baru menggantikan proyek gagal seperti perpustakaan DPR.
"Ini ide yang sangat ideal karena ada kebutuhan yang mendesak karena kerja DPR itu gak sekedar ecek-ecek. Di sana kan UU dibuat, kalau orang yang membuatnya tidak berkualitas maka seperti ini hasilnya, banyak yang digugat ke MK," kata Lucius ketika berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Senin (28/8) lalu.
Namun, sesuai UU Partai Politik, kata Lucius, peningkatan kualitas anggota legislatif sebenarnya menjadi tugas partai politik. Di sana tercantum tugas parpol untuk pengkaderan dan pendidikan politik. Sayangnya, kata dia, tugas itu belum dilakukan secara benar oleh partai politik sebab dalam beberapa kasus, parpol tampil sebagai pembela anggotanya yang dinilai bermasalah oleh masyarakat.
Pendapat ini diamini oleh anggota Komisi II DPR H Tamuri. Tugas anggota DPR sekarang ini adalah menyelesaikan seluruh program yang ada, bukan untuk bersekolah. "Di sini orang datang kerja. Tugas peningkatan kualitas itu ranah parpol, bukan parlemen," ujarnya.
Kualitas DPR periode 2014-2019 dalam catatan Formappi paling buruk. Hal itu terlihat dari berbagi aspek seperti utang legislasi yang menumpuk, sitem kerja yang kacau, dan memudarnya komitmen.
Utang legislasi
Dari tiga kali masa sidang untuk prolegnas prioritas 2015-2019, DPR baru menghasilkan 10 undang-undang. Tahun 2015, dari target 40 RUU proritas hanya tiga yang berhasil disahkan oleh DPR.
Tiga undang-undang yang sudah dihasilkan DPR masing-masing adalah Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan Undang-undang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, untuk prolegnas proritas 2016, dari 50 RUU, hanya 7 UU yang dihasilkan yakni 5 undang-undang dan dua undang-undang kumulatif terbuka.
Undang-undang itu adalah Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Undang-Undang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Pencegahan dan Penanggulangan Krisis Keuangan, serta Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang baru disahkan pada 28 Juni 2016 lalu.
Adapun undang-undang kumulatif terbuka terdiri atas RUU pengesahan kerja sama antara Kementerian Pertahanan RI dan Kementerian Pertahanan Jerman mengenai kerja sama di bidang pertahanan dan RUU tentang pengesahan persetujuan pemerintah RI dan pemerintah Cina tentang aktivitas di bidang pertahanan.
"Ada prioritas tapi hasilnya jauh panggang dari api," kritik Lucius.
Sistem kerja yang kacau
Selain mandul di legislasi, Lucius menilai kinerja buruk DPR juga disebabkan oleh kurangnya perencanaan. DPR kerap terlarut pada hal yang bukan ranahnya dan meninggalkan tugas dan fungsi pokok yang menjadi prioritas.
Dia mencontohkan, pada fungsi anggaran, DPR kerap lalai bahkan ikut bermain di dalamnya. Sementara di fungsi pengawasan, DPR mengabaikan temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang seharusnya dibuat Pansus DPR. Mereka, kata dia malah angkat yang bukan ranah mereka, seperti dalam kasus RS Sumber Waras.
"Tidak fokus. Isu apa yang muncul, ditanggapi berlarut sehingga tidak jelas apa yang menjadi prioritas," tukas dia.
Selain tiga tupoksi di atas, sistem pendukung seperti staf dan tenaga ahli DPR juga tidak diperhatikan secara serius. Perekrutan kerap diambil secara asal-asalan dan tidak mendukung kinerja anggota DPR. Seharusnya, menurut dia, gagasan pembenahan kinerja juga dialamatkan kepada sistem pendukung ini.
Memudarnya komitmen
Menurut Lucius, kinerja buruk bukan disebabkan oleh latar pendidikan yang rendah dari anggota dewan. Tingkat absensi yang tinggi dalam masa sidang paripurna atau sidang di komisi-komisi menunjuk pada pudarnya komitmen wakil rakyat itu dari hari ke hari.
Selama periode masa sidang paripurna III DPR, 11 Januari-18 Maret 2016 misalnya, tingkat kehadiran atau absensi anggota DPR hanya 53 persen. Rata-rata hanya 299 dari 559 anggota saja anggota dewan yang menghadiri sidang paripurna.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretariat DPR, Fraksi PDIP ada di puncak absensi ketidakhadiran (42 persen) atau rata-rata hanya 46 dari 109 anggota yang hadir selama masa sidang paripurna III.
Anggota DPR dari Fraksi Nasional Demokrat tercatat paling rajin mengikuti sidang paripurna. Tercatat, tingkat kehadiran anggota DPR dari Fraksi Nasdem mencapai 63 persen atau 23 dari 36 anggota hadir. Disusul posisi selanjutnya Gerindra dan PKS.
0 komentar:
Posting Komentar